3. Nasionalisme ekonomi Pada awal kemerdekaan

Nasionalisme ekonomi Pada awal kemerdekaan  Masalah-masalah ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia setelah proklamasi cukup besar. Indone­sia mewarisi kondisi ekonomi yang sangat rancu dari pemerintah pendudukan Jepang. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
Ketika menduduki Indonesia, Jepang menguras kekayaan alam Indonesia secara besar-besaran
Perang Kemerdekaan memakan biaya yang cukup besar
Perkebunan-perkebunan dan industri rusak berat
Laju inflasi yang sangat tinggi, sebagai akibat beredarnya tiga mata uang sekaligus, yaitu uang uang de Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang pemerintahan pendudukan Jepang.
Adanya blokade ekonomi yang dilakukan oleh pihak Belanda

Akibat blokade pihak Belanda, pemerintah Indonesia akan kehilangan kepercayaan dari rakyatnya, sehingga memudahkan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Menghadapi kondisi ekonomi yang mengalami krisis tersebut, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut : Pada bulan Juli 1946, Menkeu Ir. Surachman dengan persetujuan BP KNIP mengadakan pinjamanan terkumpul sebesar Rp. 500.000,00. Pada tanggal 1 Oktober 1945, dikeluarkan UU No. 17 tahun 1946 tentang "Pengeluaran Oeang kertas Republik Indonesia (ORI) untuk menggantikan uang Jepang. Pada tanggal 25 Oktober 1946 dikeluarkan UU No. 19 Tahun 1946 tentang Penukaran Uang Jepang dengan ORI, dengan ketentuan sebagai berikut : Di Pulau Jawa Rp 50,00 uang Jepang disamakan dengan Rp 1.00 ORI Di luar Pulau Jawa dan Pulau Madura Rp 100,00 uang Jepang disamakan Rp 1,00 ORI. Pada bulan Februari 1946 pemerintah melaksanakan konferensi ekonomi yang menghasilkan konsea sebagai berikut :
Bahan makanan akan ditangani oleh Badan Pengawasan Makanan Rakyat, yang kemudian diubah menjadi Badan Persediaan dan Pembagian Makanan (BPPM)
Untuk meningkatkan produksi, maka perkebunan akan diawasi langsung oleh pemerintah.
Dibentuk Badan Perencanaan Ekonomi
Menteri persediaan makanan rakyat I.J. Kasimo membuat Kasimo Plan yang berisi hal berikut : Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul; Pencegahan pengambilan hewan pertanian; Tanah-tanah terlantar haus ditanami kembali, terutama di Sumatera; Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 Juta penduduk Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 10 - 15 tahun; Pelaksanaan program rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA), yaitu mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi dan meningkatkan efisiensi angkatan perang. Mendorong para pengusaha swasta untuk ikut serta dalam perkembangan ekonomi nasional dan mengaktifkan kembali Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE), PTE merupakan wadah pengusaha swasta, yang dibentuk sejak zaman Jepang. Gabungan perusahaan perindustrian dan perusahaan penting, pusat perusahaan tembakau Indonesia, Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) diaktifkan Kembali dalam rangka menegakkan ekonomi Indonesia.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut ternyata berhasil mengatasi krisis ekonomi Indonesia. Apalagi secara ekonomi Konferensi Meja Bundar yang selenggarakan di Den Haag sangat merugikan pihak Indonesia sebab utang-utang Hindia Belanda dibebankan kepada Pernerint RIS. Dalam kondisi ekonomi yang semakin parah ini masyarakat mendambakan pembangunan ekonat nasional yang bebas dari gejolak ekonomi dunia. Kemudian pemerintah mengambil aingkah-langq perbaikan ekonomi dengan be,rbagai kebijakan sebagai berikut.
Gunting Syafrudin
Untuk mengatasi defisit anggaran dalam upaya mengurangi peredaran uang, Menkeu Syafrudin mengambil tindakan memotong uang dengan memberlakukan setengahnya untuk mata uang bernilai Rp 2,50 ke atas yang kemudian dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin. Di bidang perdagangan luar negeri, Pemerintah mengambil langkah mengeluarkan  peraturan ekspor yang dilakukan dengan sertifikat devisa. Guna meningkatkan ekspor nilai tukar rupiah diubah menjadi Rp 7,60 setiap satu dolar untuk ekspor, dan Rp 11,80 setiap satu dolar untuk impor. Pecahnya perang Korea pada bulan Mei 1950, mengakibatkan ekspor Indonesia meningkat menjadi 243 % atau bernilai  115 juta dolar. Peristiwa ini dikenal sebagai Korea Boom.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Memasuki tahun 1951 keadaan ekonomi Indonesia tidak berambah baik melainkan bertambah merosot, faktor-faktor yang menyebabkan kemerosotan antara lain sebagai berikut :
Pendapatan pemerintah berkurang akibat menurunnya perdagangan internasional
Ekonomi nasional terlalu tergantung pada ekspor hasil perkebunan
Belum berkembangnya sektor produksi lain, seperti industri dan perdagargan
Keamanan dalam negeri belum mantap
Instabilitas politik
Politik keuangan RI dibuat di negeri Belanda
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang terns merosot, Soemitro Djoyohadikusumo, Menteri perdagangan pada masa Kabinet Natsir berpendapat bahwa di Indonesia harus segera ditumbuhkan kelas pengusaha. Sumitro kemudian dikenal dengan Gerakan Benteng (Benteng Group). Langkah yang diambil Sumitro dalam membangun ekonomi nasional yaitu dengan memberi bantuan kredit kepada pengusaha Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah. Diharapkan secara bertahap pengusaha yang lemah akan berkembang maju, sehingga upaya mengubah struktur ekonomi kolonial menuju struktur ekonomi nasional akan terwujud. Mulai bulan April 1950 hingga tahun 1953 sekitar 700 pengusaha pribumi (Indonesia) mendapat kredit dari program Gerakan Benteng tersebut. Dengan berpedoman bahwa para pengusaha pribumilah yang dapat membangun perekonomian nasional, maka Gerakan Benteng ini adalah kebjiakan untuk melindungi pengusaha pribumi agar dapat berpacu dalam mengembangkan ekonomi nasional. Tujuan dari program Gerakan Benteng antara lain sebagai berikut:
Menumbuhkan dan membina wiraswasta Indonesia sambil menumbuhkan ekonomi nasional.
Mendorong importir-importir nasiora hingga mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan impor asing
Membatasi impor barang-barang agar memberikan lisensi impor hanya kepada importir Indonesia
Memberikan bantuan dalam    bentuk kredit kepada importir Indonesia.
Pada kenyataannya program ini gagal mencapai tujuannya, sebab pengusaha pribumi terlalu tergantung kepada pemerirtar dalam mengembangkan usahanya. Bahkan banyak diantara mereka yang menyalahgunakan kebijakan pemerintah tersebut dengan mencari keuntungan secara cepat dan kredit yang mereka peroleh. Walaupun demikian pemerintah tetap berupaya untuk mengembangkan  pengusaha pribumi.
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
Pada masa kaniet Ali Sastroamijoyo (31 Juli 1953 s/d 12 Agustus 1955). Kabinet ini  berusaha untuk mengatasi krisis moneter dengan cara mealkukan nasionalisasi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank pada tanggal 19 Juni 1951 berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 118 Tahun 1951 tanggal 2 Juni 1951.
Panitia Nasionalisasi bertugas mengajukan usul rencana nasionalisasi kemudian pemerintah trengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank berdasarkan Kepres RI No. 123 Tahun 1951 tanggal 12 Juni 1951.
Tanggal 15 Desember 1951 diumumkan UU No. 14 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, yang pada akhirnya berfungsi sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi.
Dalam rangka menaikkan pendapatan, pemerintah Indonesia berupaya menurunkan biaya ekspor dan melakukan penghematan secara drastis
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo (31 Juli 1953 s/d 12 Agustus 1955). Menteri Perekonomian Mr. Ishaq Cokrohadisuryo memprakarsai sistem perekonomian yang dikenal dengan sistem Ekonomi Ali Baba. Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba adalah pengusaha non­pribumi (China). Untuk memajukan ekonomi pengusaha, para pengusaha nonpribumi harus bekerja sama dengan pengusaha pribumi dan selanjutnya pemerintah memberikan bantuan kredit kepada pengusaha pribumi. Pada kenyataannya sistem berpengalaman dan hanya dijadikan alat oleh pengusaha nonpribumi untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 s/d 3 Maret 1956) Indonesia mengirimkan delegasi ke negeri Belanda guna merundingkan masalah finansial ekonomi dengan pemerintah Belanda. Hasilnya pada tanggal 17 Januari 1956 tercapai rencana persetujuan Finek, yang antara lain berisi hat berikut:
Persetujuan Finek dan hasil KMB dibubarkan
Hubungan Finek Indonesia - Belanda didasarkan atas hubungan bilataral
Hubungan Finek didasarkan atas UU Nasional tidak boleh diikat oleh perjanjian lain
Persetujuan ini tidak diterima oleh pemerintah Belanda, sehingga pemerintah Indoneia mengambil langkah sepihak dengan membubarkan Uni Indonesia - Belanda pada tanggal 13 Februari 1955  untuk melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda
RPLT Munap
Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 - 4 Maret 1957) pemerintah membentuk suatu badan perencanaan pembangunan nasional yaitu Biro Perancang Negara, Ir. H. Juanda sbagai Menteri Perancang Nasional berhasil membuat Rencana Pembangunan Lima tahun yang berjalan tahun 1956 - 1961. Pada saat kabinet Juanda terbentuk (9 April 957- 5 Juli 1959) keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, sehingga pemerintah mencari jalan keluar dengan menyelenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Akan tetapi pada kenyataannya langkah ini ternyata tidak mengubah keadaan. Selain itu RPLT juga tidak dapat dilaksanakan. Penyebabnya antara lain sebagai berikut :
Daerah-daerah menempuh kebijakan sendiri-sendiri
Daerah di luar Jawa banyak yang melakukan barter langsung ke luar negeri
Harga barang ekspor menurun
Timbulnya ketergantungan antara pusat dan daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11. Perubahan Ekonomi Setelah Perang Dunia ke II

1. Kehidupan Politik Indonesia di Awal Kemerdekaan

Teori Masuknya Islam Ke Indonesia